Sekian lama, orang bertanya-tanya, apa penyebab pola melingkar aneh yang memenuhi padang rumput Gurun Namibia, Afrika -- yang tenar dengan sebutan 'lingkaran peri'. Hipotesis pun bermunculan, ada yang menduga itu ulah semut atau rayap, juga gas dari tanah yang mematikan rumput. Kini muncul titik terang, pola tersebut kemungkinan besar muncul karena sebab alami: sengitnya kompetisi rumput di bawah permukaan tanah.
Rerumputan di Gurun Namibia awalnya homogen, tumbuh merata, namun jarangnya hujan dan miskinnya nutrisi tanah menimbulkan kompetisi intens di antara tanaman rumput. Yang kuat menyapu air dan nutrisi tanah, membuat rumput yang lemah mati sehingga memicu area-area tandus di permukaan tanah.
Kesenjangan antara tanaman makin lama makin lebar, seiring makin ketatnya kompetisi. Zona bebas rumput kemudian menjadi reservoir untuk nutrisi dan air. Dengan nutrisi tambahan, rumput yang lebih besar pun akhirnya berakar di pinggirannya. Lingkaran 'peri' yang stabil pun terbentuk.
"Ini adalah teori yang baik, karena mempertimbangkan semua karakteristik dari lingkaran peri. Termasuk keberadaan spesies rumput tinggi," kata ahli biologi Florida State University, Walter Tschinke, yang tak terlibat dalam studi tersebut kepada LiveScience yang dikutip Liputan6.com, Jumat (6/9/2013).
"Tak ada teori tentang lingkaran peri seperti ini yang diajukan sebelumnya," sambungnya.
Teori Rayap Terbantahkan
Lingkaran peri telah menjadi misteri bagi kalangan ilmuwan selama beberapa dekade. Tahun lalu, Walter Tschinke menemukan sejumlah lingkaran peri kecil yang usianya mencapai 24 tahun. Sementara lingkaran yang lebih besar bisa bertahan hingga 75 tahun. Namun, risetnya belum menentukan awal mula terbentuknya lingkaran tersebut, atau mengapa mereka akhirnya lenyap.
Awal tahun ini, ahli biologi dari University of Hamburg, Norbert Juergens mengklaim telah menemukan penyebab lingkaran peri: rayap. Teorinya berdasarkan temuan koloni rayap pasir, Psammotermes allocerus, di hampir setiap pusat lingkaran peri -- di mana ia juga menemukan peningkatan kelembaban tanah.
Juergens berdalil, rayap-rayap memakan akar tanaman, membunuh rumput tersebut, dan menghisap seluruh air di tanah sekitarnya untuk bertahan hidup di musim kemarau. Sehingga terjadilah lingkaran peri.
Namun, menurut Tschinke, teori tersebut gagal menguraikan sebab akibat.
Senada, Michael Cramer, ahli biologi dari University of Cape Town, Afrika Selatan, yang juga pemimpin penelitian terakhir yang dipublikasikan jurnal PLOS ONE, juga berpikir teori rayap gagal.
"Saya berpendapat, masalah utama yang harus dijelaskan dalam teori adalah jarak lingkaran yang teratur, juga bentuk dan ukuran. Tak ada alasan nyata bagaimana bisa rayap-rayap bisa membentuk lingkaran yang demikian besar dan spasinya teratur."
Para ilmuwan juga sebelumnya juga mengusulkan bahwa lingkaran peri adalah contoh pola pengorganisasian tanaman yang muncul dari interaksi tanaman.
Persaingan Sengit
Untuk menguji teorinya, Cramer dan koleganya, Nichole Barger dari University of Colorado, Boulder menentukan ukuran dan kepadatan lingkaran peri di Namibia, menggunakan Google Earth dan survei langsung.
Mereka lalu mengumpulkan sampel tanah dari dalam dan luar lingkaran, dengan sejumlah variasi kedalaman, juga menganalisa kandungan air dan nutrisinya.
Lalu, mereka mencocokannya dengan data iklim seperti curah hujan musiman dan temperatur, ke dalam model komputer mereka.
"Kami menemukan bahwa ukuran lingkaran, kepadatan, berkaitan dengan jumlah sumber data yang tersedia. Secara khusus, lingkaran peri lebih kecil jika memiliki lebih banyak kandungan sumber daya, seperti nitrogen dan curah hujan.
Para peneliti juga menemukan bahwa curah hujan sangat menentukan distribusi lingkaran peri di Namibia. Lingkaran hanya muncul didaerah di mana ada jumlah hujan yang tepat (tidak terlalu sedikit, juga tidak terlalu banyak ).
Jika curah hujan besar, lingkaran akan menutup. Juga saat hujan terlalu pelit turun, kompetisi akan menjadi terlalu parah dan lingkaran akan kembali menghilang.
Perbedaan curah hujan dari tahun ke tahun dapat menyebabkan lingkaran peri tiba-tiba menghilang dan muncul kembali dari waktu ke waktu.
Kesenjangan antara tanaman makin lama makin lebar, seiring makin ketatnya kompetisi. Zona bebas rumput kemudian menjadi reservoir untuk nutrisi dan air. Dengan nutrisi tambahan, rumput yang lebih besar pun akhirnya berakar di pinggirannya. Lingkaran 'peri' yang stabil pun terbentuk.
"Ini adalah teori yang baik, karena mempertimbangkan semua karakteristik dari lingkaran peri. Termasuk keberadaan spesies rumput tinggi," kata ahli biologi Florida State University, Walter Tschinke, yang tak terlibat dalam studi tersebut kepada LiveScience yang dikutip Liputan6.com, Jumat (6/9/2013).
"Tak ada teori tentang lingkaran peri seperti ini yang diajukan sebelumnya," sambungnya.
Teori Rayap Terbantahkan
Lingkaran peri telah menjadi misteri bagi kalangan ilmuwan selama beberapa dekade. Tahun lalu, Walter Tschinke menemukan sejumlah lingkaran peri kecil yang usianya mencapai 24 tahun. Sementara lingkaran yang lebih besar bisa bertahan hingga 75 tahun. Namun, risetnya belum menentukan awal mula terbentuknya lingkaran tersebut, atau mengapa mereka akhirnya lenyap.
Awal tahun ini, ahli biologi dari University of Hamburg, Norbert Juergens mengklaim telah menemukan penyebab lingkaran peri: rayap. Teorinya berdasarkan temuan koloni rayap pasir, Psammotermes allocerus, di hampir setiap pusat lingkaran peri -- di mana ia juga menemukan peningkatan kelembaban tanah.
Juergens berdalil, rayap-rayap memakan akar tanaman, membunuh rumput tersebut, dan menghisap seluruh air di tanah sekitarnya untuk bertahan hidup di musim kemarau. Sehingga terjadilah lingkaran peri.
Namun, menurut Tschinke, teori tersebut gagal menguraikan sebab akibat.
Senada, Michael Cramer, ahli biologi dari University of Cape Town, Afrika Selatan, yang juga pemimpin penelitian terakhir yang dipublikasikan jurnal PLOS ONE, juga berpikir teori rayap gagal.
"Saya berpendapat, masalah utama yang harus dijelaskan dalam teori adalah jarak lingkaran yang teratur, juga bentuk dan ukuran. Tak ada alasan nyata bagaimana bisa rayap-rayap bisa membentuk lingkaran yang demikian besar dan spasinya teratur."
Para ilmuwan juga sebelumnya juga mengusulkan bahwa lingkaran peri adalah contoh pola pengorganisasian tanaman yang muncul dari interaksi tanaman.
Persaingan Sengit
Untuk menguji teorinya, Cramer dan koleganya, Nichole Barger dari University of Colorado, Boulder menentukan ukuran dan kepadatan lingkaran peri di Namibia, menggunakan Google Earth dan survei langsung.
Mereka lalu mengumpulkan sampel tanah dari dalam dan luar lingkaran, dengan sejumlah variasi kedalaman, juga menganalisa kandungan air dan nutrisinya.
Lalu, mereka mencocokannya dengan data iklim seperti curah hujan musiman dan temperatur, ke dalam model komputer mereka.
"Kami menemukan bahwa ukuran lingkaran, kepadatan, berkaitan dengan jumlah sumber data yang tersedia. Secara khusus, lingkaran peri lebih kecil jika memiliki lebih banyak kandungan sumber daya, seperti nitrogen dan curah hujan.
Para peneliti juga menemukan bahwa curah hujan sangat menentukan distribusi lingkaran peri di Namibia. Lingkaran hanya muncul didaerah di mana ada jumlah hujan yang tepat (tidak terlalu sedikit, juga tidak terlalu banyak ).
Jika curah hujan besar, lingkaran akan menutup. Juga saat hujan terlalu pelit turun, kompetisi akan menjadi terlalu parah dan lingkaran akan kembali menghilang.
Perbedaan curah hujan dari tahun ke tahun dapat menyebabkan lingkaran peri tiba-tiba menghilang dan muncul kembali dari waktu ke waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar